Kesempatan yang diberikan



Iya benar, aku memang tidak tegas terhadap sesuatu. Aku berharap takdir saja yang memilihkan. Aku takut jika aku menolak sesuatu yang tidak kusukai namun tidak melanggar syarii, bisa jadi itu sesuatu yang baik untukku.

Iya, aku nggak mau rugi. Aku belum mencobanya dan hanya mendengarnya dari mulut orang lain, itu sebabnya aku tidak berani menolak sesuatu sebelum menjalaninya. Nanti kalau dirasa berat, dan ingin berhenti, maka aku akan berhenti.

Iya, aku memang banyak alasan. Alasan sibuk, capek, berat yang ternyata sumbernya adalah malas. Sumbernya adalah takut mencoba. Takut gagal. Entah berapa banyak alasan lagi yang coba aku buat.
Aku tau bahwa hidup ini menyediakan berbagai macam pilihan. Aku juga tau bahwa takdir itu sebenarnya adalah pilihan yang berani kita buat. Lalu bagaimana lagi jika untuk melangkahkan kaki saja terasa berat, untuk memulai sesuatu saja terasa enggan. Mencari-cari alasan ini itu, yang ujung-ujungnya tak kunjung dilakukan.

Sepertinya menghadapi impian itu juga butuh ketegasan, butuh fokus. Bukan berarti meninggalkan semua hal dan hanya memegang satu fokus. Melainkan punya komitmen kuat untuk melakukannya tak peduli tanggung jawab apa saja yang sedang ditunaikan. Definisi fokus itu mungkin adalah gigih, mungkin juga ulet, bukan banyak alasan.

Impian, harapan, mungkin harus dikembalikan lagi tujuannya apa, manfaatnya apa, juga orientasinya apa. Bukan melulu uang, tapi rasa bersyukur saat melakukannya terlepas berapa pun bayarannya. Mungkin itu yang membuat orang bertahan. Mungkin itu yang membuat banyak orang tetap dalam rutinitas yang terkesan hanya itu-itu saja. Pada kenyataannya mereka menyukainya, mereka menjalaninya selama bertahun-tahun. Benarlah kata bapak, belum dijalani kok sudah khawatir.

Mungkin selama ini aku tidak adil dalam menilai sebuah pekerjaan, entah kantoran, pabrikan, independen, atau apapun itu, orang yang menjalaninya tentu memiliki kepuasan tersendiri saat menjalaninya. Tentu mereka ada secuil harapan dan kebahagiaan ketika menjalaninya, tidak seperti dugaanku, membosankan dan stuck di rutinitas. Jika mereka mampu menjalaninya seumur hidup mereka sampai pensiun, tentu perasaan mereka terlibat didalamnya. Perkara mereka menyesal atau tidak. Perkara mereka merasa sulit keluar atau tidak. Kembali lagi, mereka selalu punya alasan untuk keluar, mereka selalu punya kesempatan untuk bersikap tegas. Jika masih dijalani artinya mereka masih sanggup dan dalam hati masih menginginkan untuk melakukannya tiap hari.

Dalam kasus ku ini, mungkin benar aku merasa aku tidak bisa tegas. Mungkin benar aku merasa tidak bisa menolak, karena di dalam hatiku aku menyukai pekerjaan mengajar ini. Aku tau aku nganggur, butuh interaksi. Aku senang berinteraksi dengan orang lain, dengan anak-anak. Mengajari mereka, meski sangat tidak mudah, meski aku sempat termenung merasa gagal. Meskipun aku juga harus belajar sebelum mengajari mereka, tapi aku senang bercanda dengan mereka. itu sebabnya, masih bisa ku usahakan, masih bisa ku terima, meskipun disatu sisi rasanya tidak mau menambah jadwal lagi, tidak mau menambah “beban” lagi. Bagaimana menjelaskannya ya? Aku takut melewatkan kesempatan-kesempatan baik di dalam hidupku.

Aku bisa menolak sesuatu, yang itu aku sangat menginginkannya, bisa menjadi batu loncatan yang sangat tinggi. Aku bisa menolaknya karena ia datang dengan cara yang “belum baik” menurutku. Mungkin sebenarnya semua itu bergantung pada prinsip, bukan masalah tegas atau tidak, bisa atau tidak, tetapi tentang seberapa bermanfaat itu kulakukan. Akhirnya aku akan bertanya tiap kali kesempatan itu datang, jika aku melakukannya, akankah Allah menyukainya?

Ponorogo, 2 September 2019
Rizka Ulfiana, 22th

Komentar