Saat malam tadi selepas mengajar
devine, aku ngajari kakaknya, jovita. Tiba-tiba devine lari dari arah belakang
dan memelukku. “huhuhu mbak rizka…”, katanya. Kutanya kenapa, dia bilang dia
kangen padaku. Aku bingung menjawabnya karena setiap hari kita bertemu dan
bagaimana dia bisa rindu kepadaku dan juga kenapa tiba-tiba jadi bilang rindu?
Dia menjawab bahwa kata ibukku aku akan pergi ke surabaya jadi tidak bisa
mengajar devine lagi. Benar, aku memang akan ke surabaya untuk wisuda, tapi itu
masih lama. Aku tersenyum kepadanya mengatakan sudah tidak apa-apa. Aku peluk
ia dan bilang nanti bisa mengajari nya lagi.
Perpisahan, adalah sesuatu yang
tidak asing bagi kita karena mungkin memang sudah sering di dengung-dengungkan.
Jika bertemu ya berpisah, entah berapa lama jaraknya untuk bertemu lagi. Kadang
yang membuat berat itu bukan berpisahnya sendiri, namun kata-kata akan berpisah
itu. Bagaimana menyampaikan selamat tinggal, semoga bertemu kembali. Bagaimana
mengatakan bahwa untuk waktu yang lama kita tidak akan bertemu lagi. Membayangkan
akan pergi dan fikiran-fikiran yang takut bagaimana harus menjalani hari tanpa
bisa bertemu untuk waktu yang dekat.
Ketika umur kita masih belia ,
atau katakanlah seumuran devine, cenderung lebih bisa untuk mengekspresikan
kesedihan atau mengatakan tidak ingin berpisah, namun jika sudah setua ini akan
sulit mengatakan jangan pergi. Akan sangat sulit mengatakan bahwa aku sedih
harus berpisah denganmu, dengan ekspresi yang serius. Bahwa kita benar-benar
hancur. Sering kali melewatkan hari dengan menangis dalam keheningan tanpa
mengizinkan orang lain untuk melihat kesedihan itu. Benar kata orang bahwa anak
kecil lebih jujur, karena mungkin mereka tidak banyak berfikir efek yang akan
ditimbulkan ketika mengekspresikan diri, namun bagi orang dewasa mereka
memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan kadang rasa gengsi yang berlebihan, agar
tampak kuat meskipun rapuh di dalam.
Ekspresi dari seorang anak itu
mungkin muncul dari sebuah ketulusan, dari kejujuran hati, bahwa perpisahan
adalah sesuatu yang tidak ingin mereka rasakan, yang sebenarnya begitupun bagi
orang yang sudah dewasa. Hanya saja yang dewasa biasanya mendewasakan fikiran
mereka dan sekuat hati mencoba mengerti bahwa itu adalah suatu bentuk fase yang
harus dijalani.
Begitu pula ketika aku keluar dari
menjadi seorang pengajar, yang meskipun aku sangat ingin melihat mereka
menangis karena kepergianku karena aku merasa “diinginkan”, tak bisa kulakukan
itu karena banyak orang dewasa di sekitarku yang menekanku untuk tidak
mematahkan hati mereka. Bagi mereka mengatakan selamat tinggal berarti
mematahkan hati mereka, melihat mereka menangis adalah sesuatu yang berat. Aku
mencoba memahaminya, meskipun jauh di dalam hatiku mengatakan bahwa sebenarnya
tidak masalah jika mereka memang akan menangis, karena dengan mengatakan aku
pergi, mereka akan menangis, namun pada akhirnya akan mengerti dan berusaha
bisa menerimanya.
Apa yang sebenarnya coba aku
tuliskan adalah, aku senang bisa mengenal mereka semua, baik murid lesku maupun
anak-anak lain. Dari mereka aku bercermin tentang hidup yang selama ini aku
jalani. Aku kembali menemukan sebuah kejujuran-kejujuran yang hati lakukan,
yang mungkin tidak bisa ku temukan pada orang dewasa. Well, ya karena orang
dewasa punya banyak bedak untuk ditutupi mungkin, atau mungkin sudah melakukan
proses pengendalian diri tidak mungkin menampakkan “kejujuran-kejujuran” yang
biasa anak kecil lakukan. Refleksi bahwa adakalanya perlu melihat kembali
kejujuran seperti itu agar bisa mengolah emosi, memperkaya hati. Belajar dari
dasar sesuatu yang mungkin sering kita lupakan, tapi menjadi nilai yang penting
atau pondasi awal tentang bagaimana harusnya menjalani hidup. Ah, hidup memang
tak henti belajar meskipun dari kepolosan akan kecil.
Ponorogo, 9 Oktober
2019
Rizka Ulfiana, 22 th
Manusia.
Komentar
Posting Komentar
silahkan memberi kritik dan saran yang membangurn