Suatu Kali di Facebook



Hai. Satu kali aku membuka facebook. 

Kulihat apa saja yang sudah kulakukan saat peralihan antara masa sd ke smpku. 

Awalnya kulihat beranda, dipenuhi dengan orang-orang yang tidak ku kenal dan berita-berita yang di re-share. Langkah pertamaku adalah unfriend orang yang tidak kukenal. Jumlah teman di facebookku hampir 600 orang yang entah berapa persen yang ku kenal atau setidaknya tau orangnya. Dulu nge-add atau nge-confirm orang yang tidak dikenal dengan alasan agar jumlah temannya banyak, mementingkan gengsi dulu dan pamer likes maupun komentar yang banyak. 

Merasa sakit hati jika tidak ada komentar maupun likes. Bahkan ada pilihan colek juga yang sampai saat ini masih belum paham colek itu fungsinya buat apa. Pada dasarnya orang suka “diperhatikan”, maka tak heran meski platform medsos menjelma jadi berbagai macam entah twitter maupun instagram dan tetek bengeknya, orang masih suka followersnya banyak, jika apa yang dipost nya itu bisa mendapat respon, yang dalam kondisi ekstrim orang berusaha melakukan apapun agar dapat respon. Tak heran bisnis jual beli followers lumayan laku sekarang ini.

Oke balik lagi. Kembali menelusuri facebook dan beralih dari postinganku sendiri, banyak tulisan yang aneh jika di baca saat ini.  Entah semua huruf di buat besar-kecil ditambah angka maupun kata-katanya seperti #cesss #senggg dan kata-kata “tambahan” “pengheboh” tulisan lain sebagainya. Difikir-fikir saat itu menulis seperti itu sangat ngetrend loh, bahkan gawl, tapi jika dilihat sekarang, apa dulu tidak capek ya nulis seperti itu, entah bikin huruf besar kecil yang dimana semua nya kan juga difikir kapan harus besar, huruf mana yang mau dibuat kecil, mana enaknya di ganti angka, mana yang dikasih simbol dan jumlah titiknya berapa. Hmmm, lumayan menguras fikiran juga untuk mengetik sebuah kalimat. Oh, hampir lupa, belum lagi emoticon yang dulu diketik manual dengan simbol. Luar biasa ya perjuangan untuk menulis sebuah “status” di facebook.

Seingatku facebook dulu juga jadi ajang pedekate dengan orang yang tidak kenal maupun kenal sedikit. Asalkan muncul simbol bulat hijau pertanda online di dekat namanya, maka kesempatan untuk nge-chatpun besar. Dulu rasanya orang belum se aware sekarang, belum banyak yang jahat di facebook, atau dulu mungkin aku masih anak kecil ke remaja ya, atau bisa jadi karena aplikasi facebook, medsos yang masih baru banget ada di Indonesia jadi orang masih antusias sekali sehingga belum muncul sikap awas dan curiga. Orang ngechat sana sini kenalan, dan ya sudah hanya hari itu saja kenal dan mengobrol. Selanjutnya biasanya tidak, entah jika masih ada yang melanjutkan, tapi setauku lingkunganku saat itu orang hanya seperti itu. Hanya bermain-main, obrol sana obrol sini. Beda lagi dengan kasus penculikan karena kenalan di facebook. Ya selalu ada sisi baik buruknya, tidak bisa disangkal.

Aku membuka pesan-pesan dahulu ketika aku berbincang dengan temanku maupun dengan orang baru lewat chat. Aku menemukan diriku begitu sakit hati dan mengatakan bahwa aku ini bukan siapa-siapa. Dari sana aku tau bahwa aku yang dulu begitu pemaksa, keras kepala, dan sangat menjengkelkan. Terlihat dari perkataan-perkataanku yang kutulis disana.

Aku menyadari bahwa aku seburuk itu loh dulu, apa yang mau disombongkan sekarang? Lalu saat hijrah, melakukan sebutir dua butir kebaikan, apakah lantas langsung mengklaim aku baik hari ini? 

Aku sejahat itu lo dulu, kok Allah membuatku bisa sampai di titik ini ya sekarang? 

Jika mengingat ini aku sangat terharu, bagaimana bisa orang yang seburuk itu memutuskan untuk berhijrah? Bukan perkara besar juga sebenarnya hijrah yang aku maksud ini, maksduku bukan dari pakaian tapi hijrah dari perbuatan dan pemikiran. Aku tidak mengatakan bahwa saat ini aku adalah orang baik, aku hanya mencoba mengatakan bahwa kita tidak bisa meremehkan orang lain, seorang pendosa hari ini bisa jadi diakhir hidupnya adalah orang yang paling Dia cintai karena Allah menerima tobatnya, karena derasnya ia memohon ampun. Kita tidak pernah tau akhir hidup seseorang. Seseorang yang mungkin sangat baik hari ini kita masih belum tau bagaimana ia di akhir hidupnya, apalagi seseorang yang kita pandang buruk hari ini.

Jadi ya membuka memori-memori lama ini membuatku termenung, bahwa aku pernah di titik itu. 

Titik dimana saat itu aku masih sangat muda dan belum paham bagaimana harus bersikap, bagaimana cara berinteraksi dengan baik kepada orang dan bersikap egois, memaksakan kehendak, dan keras kepala. 

Well sampai saat ini masih ada “sisa-sisa” dari masa lalu itu, namun aku masih selalu berusaha untuk mengurangi dosisnya sedikit demi sedikit dan meletakkannya pada kondisi dan porsi yang tepat. Mengetahui sumber masalah berarti menyelesaikan setengah solusinya. Aku hanya ingin berterimakasih kepada teman-temanku yang membersamai masa mudaku dulu, yang saat itu meski aku sangat menyebalkan mereka tetap mau berteman denganku. Aku memohon maaf jika pada saat itu mereka harus menghadapi aku yang belum tau bagaimana berbuat baik pada orang lain. 

Terimakasih, atas masa muda yang aku banyak belajar darinya.


Ponorogo, 15 Oktober 2019
Rizka Ulfiana, 22 th


Komentar