Mari berbicara.
Kira-kira hikmah apa yang bisa diambil dari perjalananku hari ini?
Mungkin Allah sedang ingin mengatakan padaku, sesuatu itu harus benar-benar diniati, kalau setengah-setengah tidak akan sampai. Tidak ada kata ragu untuk mencapai sukses. Untuk mencapai sesuatu itu pasti ada ujian keteguhannya. Itu sebabnya hati yang ragu akan mudah untuk berbalik arah sehingga tak jadi sampai ke tempat tersebut.
Benar, namun yang ingin ku
tanyakan dan kufikirkan adalah bagaimana kita bisa tau bahwa itu hanya sebuah
ujian dan mana tanda bahwa itu sebuah peringatan untuk berhenti?
Darimana bisa tau dan bagaimana
dalam memilih keduanya? Jadi menurutku sesuatu, apa yang menurut kita itu baik
namun kita ragu itu memang harus dicoba dulu, kalaupun di tengah perjalanan
merasa tak cocok dan ingin berbalik, menurutku juga bukan sia-sia, karena
darisana aku jadi tau bahwa itu tidak cocok. Hal itu menurutku lagi, lebih
baik, daripada dalam penyesalan karena tak pernah berani mencoba hal yang baik
sehingga tak tau apakah cocok dijalani atau tidak.
Segala sesuatunya itu tak selalu
harus berhasil, untuk diakui bahwa yang dilakukan itu tak sia-sia.
Dulu dibela-belain ke surabaya
hampir tiap minggu pulang pergi mulai dari naik bis ekonomi 6 jam, kereta api,
sampai akhirnya nyaman pakai bis patas 3 jam. Setiap akan berangkat rasanya
ingin terus mengeluh karena pemberitahuannya h-1 dari jadwal tes sehingga tak
banyak yang dipersiapkan. Terus ngeluh sana-sini sampai akhirnya tiba dititik,
ingin sekali dipanggil lagi kesana. Seakan-akan otak akhirnya berhenti dan
capek mengeluh meski rasanya sama-sama beratnya dari yang pertama. Kemudian,
hasil akhirnya adalah tidak diterima. Penolakan. Oke, sebutlah gagal menjadi
salah satu karyawan disana.
Apakah aku menyesal pulang pergi
ponorogo-surabaya 2 hari setiap minggu? Banyak uang transport yang dikeluarkan,
lelah fisik dan lelah hati, tapiiii apakah aku menyesal melakukan semua itu
jika tau ditolak seperti ini? Tak menyangkal, aku menyesal, sedikit menyesal
karena harus bela-belain kesana setiap minggu dan istilahnya berkorban banyaklah
tapi tidak diterima. Tapiiii kalau ditanya saat itu apakah aku mau
mengulanginya lagi? Aku mau.
Pemahaman bahwa Allah ngasih
banyak kesempatan kepadaku lebih kusyukuri daripada keluhanku kenapa kok ke surabaya
lagi. Aku pernah berdoa mungkin, tapi kadang hanya gerutuan kecil mengatakan
pada Allah, ya Allah aku juga ingin lo merasakan berjuang mencari kerja. Aku tidak
suka pekerjaan kantoran, tapi melihat teman-temanku berjuang wawancara
sana-sini berlelah-lelah untuk mengejar apa yang mereka inginkan itu, aku juga
ingin merasakannya.
Allah akhirnya menjawabnya dengan
memberikan perjuangan di Hikmah itu. Lelah memang, gak main-main. Benar-benar
berjuang, capek, tapi senang akhirnya aku tau bahwa berjuang memang melelahkan
gitu. Ketika lelah ya gamungkin ngomong itu menyenangkan atau membahagiakan,
lelah ya capek sana-sini. Aku bilang menyenangkan itu karena sudah terlewati.
Allah nggak membuat aku ketrima
disana karena Allah tau, mungkin aku tidak kuat bekerja disana. Allah sayang
kepadaku, sehingga di tahap terakhir Allah menjauhkan aku dari perkara itu. Tepat
di tes ke 7 dari rangkaian test menuju kedelapan, aku gagal. Hanya satu langkah
lagi, sebelum akhirnya tanda-tangan kontrak.
Apakah aku sedih? Wah jangan
ditanya, ya sedih, tapi jauuuuh dalam hati, aku juga bersyukur karena tak jadi,
tapi tetap ya namanya manusia, masih ingin diterima disana karena kondisinya di
sini belum juga mendapat pekerjaan.
Selain itu, Allah kasih
kesempatan kepadaku untuk akhirnya berpamitan secara benar ke surabaya. Allah
izinkan aku ke surabaya, saat aku benar-benar frustasi aku tak memiliki teman
untuk membagikan isi pikiranku disini. Aku rindu sekali melakukan deep conversation yang kadang hanya aku
yang banyak ngomong karena seperti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk memuntahkan
semua materi yang kudapat di sini kepada teman-temanku yang sebelumnya tak
paham harus didiskusikan dengan siapa. Banyak teman bertemu, tapi untuk diskusi
masalah mendalam, recharge iman, ada
tempatnya. Allah izinkan aku untuk bertemu orang-orang terbaik di surabaya,
sampai akhirnya aku merelakan surabaya itu dengan melepasnya pergi. Allah tanamkan
pemahaman bahwa mungkin fase di surabaya ku cukup sampai disini, dan mulai saat
ini memasuki fase peralihan dalam hidup.
Kalau saja aku tak melalui semua
itu, pasti hatiku masih terpaut ke surabaya dan meminta untuk kembali. Jika saja
aku tak mencoba berjuang ke kota itu, maka mungkin aku tak memiliki alasan
kenapa harus kesana lagi sedangkan hatiku belum benar-benar selesai dengannya. Jadi,
segala hal yang terjadi itu luar biasa indah.
Benar, bahwa untuk melakukan
sesuatu itu harus didasari niat yang sungguh-sungguh, tetapi jika hati terus
dalam kondisi ragu dan takut mengambil kesempatan itu atau tidak, bukankah pada
akhirnya kita menjadi orang yang menyia-nyiakannya ketika datang kepada kita?
Kalaupun masih ragu, jika tau
bahwa itu sesuatu yang baik, maka saranku, coba dijalani saja dulu. Kalaupun ditengah
perjalanan merasa bahwa tak lagi mau menjalani atau menempuhnya kembali, tak
apa jika berputar arah. Setidaknya menjawab keraguan itu dengan meyakini bahwa
mungkin memang tak cocok berada disana, mungkin memang bukan takdirnya disitu
sekalipun orang mengatakan bahwa apa yang dilakukan itu sia-sia. Sekalipun banyak
yang mengatakan bahwa itu hanya buang-buang waktu.
Tidak, itu jawaban. Iya, juga
jawaban. Nanti, dengan yang lebih baik, pun juga jawaban.
Kalaupun rezeki, mungkin Allah
akan menguatkan langkah ini untuk sampai ke tujuan itu. Sekalipun tidak rezeki,
mungkin berbaliknya arah itu atas tuntunan Allah untuk kebaikan dalam diri
kita. Kita tak pernah tau bukan? Mungkin juga ketika berbalik arah itu Allah
berikan rezeki yang lain karena dengan menutupnya satu pintu, Allah bukakan
seribu pintu yang lain.
Segala sesuatunya itu mudah bagi
Allah, jikalau belum Allah kabulkan mungkin Allah ingin agar diri ini berjuang
lebih baik lagi, berkembang lebih indah lagi, berjalan dengan langkah yang
lebih kuat lagi, sehingga Allah akan memberikannya disaat diri benar-benar siap
untuk menerimanya.
Allah, yang paling romantis.
Semangat untuk esok, jika
diyakini bahwa niatnya adalah sebuah kebaikan, gagal-berhasil, kalah-menang,
biarlah Allah yang jadi penentu. Kita hanya memaksimalkan ikhtiar saja. Allah
lebih tau apa yang terbaik untuk hidup kita.
Segala sesuatunya, karena Allah,
jadi hidup takkan mampu menjatuhkan kita terlalu dalam, karena yakinnya cuma sama
Allah. Butuhnya cuma sama Allah.
Ponorogo, 14 Februari
2020
Rizka Ulfiana, 22th
Semangat bangkitJ
Komentar
Posting Komentar
silahkan memberi kritik dan saran yang membangurn